Redaksi :
Kebijaksanaan pemerintah dalam
mening-katkan hasil pertanian untuk memenuhi
ke-butuhan pangan mulai dialihkan
ke berbagai pulau di luar Jawa melalui pembukaan lahan baru, baik lahan
basah maupun lahan kering (Haeruman, 1988). Pengembangan tanaman pangan
di lahan kering yang topografinya ber-gelombang dengan kondisi
iklim basah masih dapat dilakukan meskipun,memiliki resiko cu-kup
tinggi, yaitu terjadinya erosi yang
dapat menurunkan produktivitas
lahan (Soemarwoto, 1985). Untuk menekan resiko tersebut, maka pengembangan tanaman
pangan tidak hanya
ditujukan kepada peningkatan
produksi sesaat tetapi juga harus memperhatikan aspek kon-servasi lahan agar sistem produksinya dapat berkelanjutan. Pola pertanaman ganda (Multiple Crop-ping) adalah
salah satu teknologi pengelolaan lahan pertanian yang dapat memperkecil resiko
dalam pemanfaatan lahan kering untuk pe-ngembangan tanaman pangan. Pola
tanam ber-ganda merupakan sistem pengelolaan lahan ISSN 1411
– 0067 Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia. Volume 4, No. 2, 2002, Hlm. 89 – 9689 KAJIAN PERTUMBUHAN DAN HASIL
TANAMAN DALAM SISTEM TUMPANGSARI JAGUNG DENGAN EMPAT KULTIVAR KEDELAI PADA
BERBAGAI WAKTU TANAM STUDY OF CROPS GROWTH AND YIELD IN INTERCROPPING SYSTEM
BETWEEN MAIZ AND FOUR SOYBEAN VARIETIES
ON VARIOUS PLANTING TIMES Edhi Turmudi Program Studi Agronomi, Fakultas Pertanian Universitas
Bengkulu
ABSTRACT
The study was aimed to find the best soybean
variety and corn plant time in a mixed planting system for the best yield and
land use efficiency. The study involved 4 soybean varieties as sub plots and
three corn planting times as main plots in a randomized block design. Result of
the study indicated that Pangrango variety could be planted three weeks after
the corn. However, Wilis produced the
highest yield when planted just after
corn. The highest dry corn yield was found on the corn was planted three
weeks earlier than Slamet. In general, the best system was showed by
the combination of corn and Wilis under simultaneous planting with LER
4.51
.
Key words
: intercropping system, corn,
soybean variety, planting time
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan memilih
kultivar kedelai dan saat tanam jagung dalam sistem tumpangsari dengan hasil
dan efisiensi pemanfaatan lahan terbaik. Penelitian melibatkan empat kultivar
kedelai sebagai anak petak dan tiga saat tanam jagung sebagai petak utama dalam
rancangan acak kelompok. Hasil adalah sebagai berikut. Kultivar Pangrango
berpotensi ditanam tiga minggu setelah jagung. Namun, kultivar Wilis
menghasilkan bobot biji tertinggi jika ditanam sesaat setelah waktu tanam
jagung. Hasil jagung biji kering tertinggi didapatkan jika jagung ditanam tiga
minggu lebih awal daripada kultivar Slamet. Secara umum sistem tumpangsari
terbaik, dengan nilai NKL 4,51, didapatkan pada kombinasi jagung dan kultivar
Wilis dengan waktu taman bersamaan.
Kata kunci
: tumpangsari, kultivar kedelai, jagung, waktu
tanam
PENDAHULUAN
Kebijaksanaan pemerintah dalam
mening-katkan hasil pertanian untuk memenuhi
ke-butuhan pangan mulai dialihkan
ke berbagai pulau di luar Jawa melalui pembukaan lahan baru, baik lahan
basah maupun lahan kering (Haeruman, 1988). Pengembangan tanaman pangan
di lahan kering yang topografinya ber-gelombang dengan kondisi
iklim basah masih dapat dilakukan meskipun,memiliki resiko cu-kup
tinggi, yaitu terjadinya erosi yang
dapat menurunkan produktivitas
lahan (Soemarwoto, 1985). Untuk menekan resiko tersebut, maka pengembangan tanaman
pangan tidak hanya
ditujukan kepada peningkatan
produksi sesaat tetapi juga harus memperhatikan aspek kon-servasi lahan agar sistem produksinya dapat berkelanjutan. Pola pertanaman ganda (Multiple Crop-ping)
adalah salah satu teknologi pengelolaan lahan pertanian yang dapat memperkecil
resiko dalam pemanfaatan lahan kering untuk pe-ngembangan tanaman pangan. Pola
tanam ber-ganda merupakan sistem pengelolaan lahan Turmudi,
E.
JIPI 90 pertanian dengan mengkombinasikan intensi-fikasi dan
diversifikasi tanaman (Francis, 1989). Pola pertanaman ganda yang biasa di-lakukan petani adalah sistem tumpangsari (In-tercropping)
yaitu penanaman lebih dari satu jenis
tanaman berumur genjah dalam barisan
tanam yang teratur dan
saat penanamannya bersamaan dilakukan
pada sebidang lahan
(Francis, 1986). Pada umumnya sistem tum-pangsari lebih menguntungkan
dibandingkan sistem monokultur karena produktivitas lahan menjadi lebih
tinggi,jenis komoditas yang dihasilkan beragam, hemat dalam pemakaian sarana
produksi dan resiko kegagalan dapat diperkecil (Beets, 1982). Di samping
keuntung-an di atas, sistem tumpangsari juga dapat mem-perkecil erosi, bahkan
cara ini berhasil mempertahankan kesuburan
tanah (Ginting dan
Yusuf, 1982). Keuntungan secara
agrono mis dari pelaksanaan sistem
tumpangsari dapat dievaluasi
dengan cara menghitung Nisbah Kesetaraan Lahan (NKL). Nilai ini menggam-barkan efisiensi lahan, yaitu
jika nilainya > 1
berarti menguntungkan. (Beets,
1982). Sistem tumpangsari dapat
meningkatkan produktivitas lahan pertanian jika jenis-jenis tanaman yang
dikombinasikan dalam sistem ini membentuk interaksi saling menguntungkan
(Vandermeer, 1989). Kombinasi antara
jenis tanaman legum dan non legum pada sistem tumpangsari umumnya dapat
meningkatkan produktivitas lahan pertanian, dan yang paling sering dipraktekan oleh
petani adalah kom-binasi antara jagung dengan kedelai (Gomez and Gomes, 1983).
Kesesuaian kombinasi ini berhubungan dengan kompatibilitas beberapa sifat yang
dimiliki oleh kedua jenis tanaman ini. Jagung adalah tanaman golongan C4
meng-hendaki pencahayaan secara langsung, memi-liki habitus tinggi, tegak, dan
tidak bercabang dengan kanopi yang renggang, memungkinkan tanaman ini
memperoleh pencahayaan secara langsung dan dapat memberikan kesempatan bagi
tanaman lain tumbuh di bawahnya. Ta-naman jagung memiliki sistem perakaran
se-rabut yang menyebar dangkal, selama pertum-buhannya membutuhkan hara dalam
jumlah besar, khususnya unsur N sebesar 200 – 300 kg.ha
-1
yang diserap dari tanah. peroleh (Koswara,
1983). Kedelai termasuk tanaman golongan C3 cukup toleran terhadap naungan.
Tanaman ini memiliki habitus yang pendek, tegak dan bercabang dengan kanopi
yang rapat. Sistem perakarannya berupa akar tunggang yang menyebar lebih dalam
dan membentuk bintil akar yang mampu menfiksasi N2 secara simbiosis dengan
bakteri
Rhizobium sp.
(Somaatmaja, 1985). Menurut Yutono
(1982), efektivitas fiksasi
N oleh Rhizobium sp.
pada bintil
akar kedelai dimulai sejak fase
per-tumbuhan vegetatif awal pada umur tanaman 18 hari, terus meningkat dan
menurun kembali pada
fase pembungaan hingga senessen. Un-sur N hasil fiksasi
dimanfaatkan oleh bakteri maupun tanaman inangnya untuk pertumbuhan-nya dan sebagian dirembeskan ke medium per-akaran
yang dapat dimanfaatkan oleh tanaman lain yang berada di sekitarnya. Untuk
meningkatkan produktivitas lahan
pada sistem tumpangsari kedelai - jagung
se-harusnya digunakan
kultivar kedelai yang me-miliki kemampuan memfiksasi
N2. lebih tinggi dan tahan naungan dengan daya hasil
tinggi. Meskipun sekarang telah
dikembangkan ber-macam-macam kultivar
kedelai, tetapi sampai saat ini
belum diketahui kultivar mana yang me-miliki sifat-sifat di atas. Bentuk
interaksi saling menguntungkan antar jenis tanaman selain ditentukan oleh
kompatibilitas karakteristik dari kedua jenis tanaman, juga dipengaruhi oleh
fase pertumbuhan saat berinteraksi. Hal ini sangat berhubungan dengan saat
tanam di antara kedua jenis tanaman yang dikombinasikan. Hingga kini saat
penanaman yang tepat antara jagung dengan kedelai pada
sistem tumpangsari ini belum diketahui. Penelitian ini dilakukan dengan
tujuan memilih kultivar
kedelai dan jagung yang memiliki
hasil tinggi dalam
sistem tumpang- sari.
METODE PENELITIAN
Percobaan dilaksanakan di lahan pertanian wilayah
kelurahan Kandang Limun Kecamatan Muara
Bangkahulu Kodia Bengkulu pada
ke-tinggian 10 m dpl dengan jenis
tanah Ultisol.
Turmudi,E.JIPI 90
pertanian dengan mengkombinasikan intensi-fikasi dan
diversifikasi tanaman (Francis, 1989). Pola pertanaman ganda yang biasa di-lakukan petani adalah sistem tumpangsari (In-tercropping) yaitu penanaman lebih dari satu jenis tanaman
berumur genjah dalam barisan tanam
yang teratur dan
saat penanamannya bersamaan dilakukan
pada sebidang lahan
(Francis, 1986). Pada umumnya sistem tum-pangsari lebih menguntungkan
dibandingkan sistem monokultur karena produktivitas lahan menjadi lebih
tinggi,jenis komoditas yang dihasilkan beragam, hemat dalam pemakaian sarana
produksi dan resiko kegagalan dapat diperkecil (Beets, 1982). Di samping
keuntung-an di atas, sistem tumpangsari juga dapat mem-perkecil erosi, bahkan
cara ini berhasil mempertahankan kesuburan
tanah (Ginting dan
Yusuf, 1982). Keuntungan secara
agrono mis dari pelaksanaan sistem
tumpangsari dapat dievaluasi
dengan cara menghitung Nisbah
Kesetaraan Lahan (NKL).
Nilai ini menggam-barkan efisiensi
lahan, yaitu jika nilainya > 1
berarti menguntungkan. (Beets,
1982). Sistem tumpangsari dapat
meningkatkan produktivitas lahan pertanian jika jenis-jenis tanaman yang
dikombinasikan dalam sistem ini membentuk interaksi saling menguntungkan
(Vandermeer, 1989). Kombinasi antara
jenis tanaman legum dan non legum pada sistem tumpangsari umumnya dapat
meningkatkan produktivitas lahan pertanian, dan yang paling sering dipraktekan
oleh petani adalah kom-binasi antara jagung dengan kedelai (Gomez and Gomes,
1983). Kesesuaian kombinasi ini berhubungan dengan kompatibilitas beberapa
sifat yang dimiliki oleh kedua jenis tanaman ini. Jagung adalah tanaman
golongan C4 meng-hendaki pencahayaan secara langsung, memi-liki habitus tinggi,
tegak, dan tidak bercabang dengan kanopi yang renggang, memungkinkan tanaman
ini memperoleh pencahayaan secara langsung dan dapat memberikan kesempatan bagi
tanaman lain tumbuh di bawahnya. Ta-naman jagung memiliki sistem perakaran
se-rabut yang menyebar dangkal, selama pertum-buhannya membutuhkan hara dalam
jumlah besar, khususnya unsur N sebesar 200 – 300
kg.ha
-1
yang diserap dari tanah. peroleh (Koswara,
1983). Kedelai termasuk tanaman golongan C3 cukup toleran terhadap naungan.
Tanaman ini memiliki habitus yang pendek, tegak dan bercabang dengan kanopi
yang rapat. Sistem perakarannya berupa akar tunggang yang menyebar lebih dalam
dan membentuk bintil akar yang mampu menfiksasi N2 secara simbiosis dengan
bakteri
Rhizobium sp.
(Somaatmaja, 1985). Menurut Yutono
(1982), efektivitas fiksasi
N oleh
Rhizobium sp.
pada bintil
akar kedelai dimulai sejak fase
per-tumbuhan vegetatif awal pada umur tanaman 18 hari, terus meningkat dan
menurun kembali pada
fase pembungaan hingga senessen. Un-sur N hasil fiksasi
dimanfaatkan oleh bakteri maupun tanaman inangnya untuk pertumbuhan-nya dan sebagian dirembeskan ke medium per-akaran
yang dapat dimanfaatkan oleh tanaman lain yang berada di sekitarnya. Untuk
meningkatkan produktivitas lahan
pada sistem tumpangsari kedelai - jagung
se-harusnya digunakan kultivar kedelai
yang me-miliki kemampuan
memfiksasi N
2
lebih tinggi dan tahan naungan dengan daya hasil
tinggi. Meskipun sekarang telah
dikembangkan ber-macam-macam kultivar
kedelai, tetapi sampai saat ini
belum diketahui kultivar mana yang me-miliki sifat-sifat di atas. Bentuk
interaksi saling menguntungkan antar jenis tanaman selain ditentukan oleh
kompatibilitas karakteristik dari kedua jenis tanaman, juga dipengaruhi oleh
fase pertumbuhan saat berinteraksi. Hal ini sangat berhubungan dengan saat
tanam di antara kedua jenis tanaman yang dikombinasikan. Hingga kini saat
penanaman yang tepat antara jagung dengan kedelai pada
sistem tumpangsari ini belum diketahui. Penelitian ini dilakukan dengan
tujuan memilih kultivar
kedelai dan jagung yang memiliki
hasil tinggi dalam
sistem tumpang- sari.
METODE PENELITIAN
Percobaan dilaksanakan di lahan pertanian wilayah
kelurahan Kandang Limun Kecamatan Muara
Bangkahulu Kodia Bengkulu pada
ke-tinggian 10 m dpl dengan jenis
tanah Ultisol. Sistem tumpangsari jagung dengan empat
kultivar kedelai
JIPI
91
Penelitian dilaksanakan dalam
bentuk per-cobaan lapangan dengan dua macam perlakuan yang disusun dalam Rancangan
Petak Terbagi ( Split Plot Design)
dengan rancangan ling-kungan yaitu Rancangan
Acak Kelompok Lengkap (RAKL).
Perlakuan pada petak uta-ma adalah waktu tanam kedelai (T) yang
terdiri atas : (T1)
21 hari sebelum tanam jagung, (T2) tanam kedelai bersamaan waktu dengan tanam jagung dan (T3)
21 hari setelah tanam jagung. Perlakuan
pada anak petak adalah kultivar ke-delai (V) yang terdiri
atas (V1) kultivar Wilis, (V2) kultivar Pangrango, (V3)kultivar
Kipas Putih dan
(V4) kultivar Slamet. Sebagai pem-banding terhadap
tanaman tanaman tumpang- sari,
maka ditanam secara monokultur
baik ta-naman kedelai maupun tanaman jagung
dan ke-seluruhan unit percobaan diulang tiga kali. Tahap awal dari
pelaksanaan percobaan adalah penyediaan benih dan pengolahan tanah.
Benih dipilih yang normal, sehat, utuh dan mempunyai kemurnian varietas
tinggi. Benih kedelai yang digunakan ada 5 kultivar sesuai dengan perlakukan.
Benih jagung digunakan yang bersertifikat dengan kultivar Pioner dan telah
diberi fungisida Ridomil. Pengolahan tanah meliputi pembersihan lahan dari gulma dan
sisa-sisa tanaman, kemudian
dicangkul hingga gembur dan dibuat petakan berukuran 2,4 m x 4,8 m, dengan jarak antara petakan 1 m
berupa parit sedalam 20 cm. Pemberian
do-lomit secara disebar merata dipermukaan tanah yang telah diolah
dengan dosis 2 ton.ha
-1
dilakukan 2 minggu sebelum tanam. Penanaman benih kedelai dilaksanakan dalam
tiga tahap dengan selang
waktu 21 hari. Sebelum benih
kedelai di tanam, terlebih dahulu
diinokulasi dengan inokulan baketri
Rhizobium japonicum
dengan dosis 10 g ino-kulan per
kg benih. Jagung ditanam serentak bersamaan dengan waktu tanam kedelai tahap
kedua. Lubang tanam kedelai maupun jagung dibuat dengan cara ditugal sedalam 3
cm - 5 cm dengan jarak tanam 20 cm x 40 cm untuk kedelai dan 40 cm x 160 cm
untuk jagung, Jarak tanam jagung dan kedelai pada pertanaman monokultur
masing-masing : 20 cm x 80 cm dan 20 cm x
20 cm. Tiap lubang tanam ditanam benih sebanyak 3
butir untuk jagung dan 4 butir
benih kedelai yang kemudian
ditutup dengan tanah yang gembur. Penjarangan dilakukan pada saat
tanaman berumur 10 - 15 hst. dengan
memilih 2 tanaman setiap
lubang untuk terus dipelihara.
Pemupukan dilakukan sesuai waktu tanam yaitu diberikan atas dasar
tanaman yang ditanam lebih dahulu,
dengan dosis pupuk keseluruhan petakan sama
masing-masing pada saat penanaman : 25
kg.ha
-1
Urea, 150 kg.ha
-1
TSP dan 20 kg.ha
-1
KCl, selanjutnya pada umur 35 hst: 75 kg.ha
-1
Urea dan
60 kg
.ha
-1
KCl. Untuk
menghindari cekaman air pada
tanaman, dilakukan penyiraman dengan
menggunakan gembor pada pagi atau sore hari sejak tanam hingga menjelang panen.
Pengendalian hama penyakit yang menyerang tanaman dilakukan secara kimiawi.
Untuk mencegah serangan penyakit bulai
pada jagung, digunakan benih yang
telah diberi Ridomil 35 SD.
Serangan lalat bibit dan ulat
tanah diatasi dengan memberikan
Furadan
3 g dengan dosis
25 kg
ha
-1
yang
diberikan saat tanam. Hama yang
menye-rang daun, batang, tongkol,
cabang dan po-long pada
tanaman jagung maupun kedelai
di-atasi dengan penyemprotan larutan
Azodrin 15 WSC 2 mL L
-1
air dengan dosis 500 L ha
-1
ke semua petak percobaan. Pemanenan kedelai
dilakukan saat tanaman telah menunjukkan ciri-ciri sebagai berikut
: polong keras dan
ber-warna coklat kekuningan, biji
berisi penuh, ku-lit licin dan keras, serta daun 60%
telah ber-guguran yaitu pada umur
85 – 90 hst. Se-dangkan untuk tanaman
jagung dipanen ber-dasarkan kriteria : kelobot dan rambut jagung telah
mengering, bijinya mengkilap dan keras telah berumur 100 - 110 hst. Untuk memperoleh data pertumbuhan dan hasil
tanaman dilakukan pengamatan terhadap 5 tanaman sampel untuk setiap petak. Adapun peubah yang diamati
terhadap masing-masing tanaman
antara lain : tanaman jagung
meliputi : tinggi tanaman (cm), total luas daun, biomassa tanaman (g), bobot tongkol (g),
bibit biji per tanaman (g), bobot 1.000
biji (g), kandungan klorofil. Untuk
tanaman kedelai meliputi : jumlah
buku subur, jumlah cabang produktif, jumlah polong, bobot 100
biji, bobot biji
kering dan total hasil biji
kering. Analisis statistik terhadap data yang terkumpul untuk Turmudi,
E.
JIPI
92
membandingkan respon tanaman
terhadap perlakuan yang diuji menggunakan uji beda nyata terkecil (BNT) pada
taraf 5%.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pertumbuhan dan Hasil Tanaman
Kedelai
Penampilan pertumbuhan tanaman
kedelai pada sistem tumpangsari dengan jagung tampak sangat beragam, akan
tetapi secara umum memperlihatkan pertumbuhan yang kurang normal. Keadaan ini disebabkan selama masa pertumbuhannya
menderita cekaman air, akibat musim kemarau yang tegas selama percobaan. Penyiraman yang dilakukan setiap pagi dan
sore hari kemungkinan tidak dapat mencukupi ke-butuhan air tanaman bagi
kedelai. Berdasarkan hasil analisis statistik terha-dap data peubah pertumbuhan
dan hasil yang diamati dapat diketahui bahwa, jumlah buku
subur yang dihasilkan oleh
masing-masing kul-tivar menunjukkan respon yang berbeda ter-hadap variasi saat
tanam. Kultivar Wilis yang ditanam 3
minggu sebelum tanam jagung meng-hasilkan jumlah buku subur nyata lebih banyak dibanding waktu tanam
sesudahnya, kecende- rungan ini juga terjadi pada kultivar Slamet. Akan tetapi
pada kultivar Pangrango cenderung menunjukkan hal yang sebaliknya, sedangkan
respon Kipas Putih tidak nyata (Tabel 1). Hal ini menunjukkan bahwa setiap
kultivar memiliki perbedaan respon terhadap kehadiran tanaman jagung dalam
sistem tumpangsari yang diduga karena perbedaan sifat genetik. Kultivar Wilis
dan Slamet memberikan respon negatif terhadap kehadiran lebih awal dari tanaman
jagung. Fase pembungaan dari kedua kultivar berlangsung lebih cepat, sehingga
penaungan yang lebih awal dari tanaman jagung mengu- rangi jumlah bunga yang
terbentuk. Tabel 1. Rata-rata jumlah
buku subur sampel kultivar kedelai pada berbagai waktu tanam
Kultivar
Waktu tanam Wilis Pangrango Kipas
Putih Slamet
3 minggu sebelum tanam jagung
14.82 a 12.18 ab 7.84 bc 8.76 bc
0 minggu sesudah tanam jagung
7.64 bc 10.99 ab 8.56 bc 8.48 bc 3 minggu sesudah tanam jagung 8.66 bc 14.83 a
8.05 bc 4.63 c
Angka-angka sekolom yang diikuti huruf yang sama berbeda tidak nyata
pada taraf uji BNT 5%.
Berkurangnya intensitas cahaya
akibat pe-naungan juga dapat menghambat proses foto-sintesis terutama pada fase
generatif yang se-lanjutnya dapat mengakibatkan bunga gagal membentuk polong.
Kedua kultivar ini meng-hasilkan buku subur lebih banyak pada pena-naman 3
minggu sebelum tanaman jagung. Hal yang sebaliknya bagi kultivar Pangrango
diduga fase generatifnya memiliki respon negatif terha-dap intensitas cahaya
tinggi, sehingga jumlah bunga terbentuk menjadi lebih sedikit. Selan-jutnya
adanya penaungan lebih awal oleh tana-man jagung yaitu pada penanaman 3 minggu
se-
telah tanam jagung menghasilkan
buku subur lebih banyak dibandingkan saat tanam yang lain. Kultivar Kipas Putih
diduga fase gene-ratifnya memiliki toleransi terhadap intensitas cahaya,
sehingga jumlah buku subur tidah dipe-garuhi oleh perbedaan saat penanaman
jagung. Berdasarkan data yang
ditampilkan pada Tabel 2, dapat diketahui kultivar Pangrango, menghasilkan
jumlah cabang produktif teringgi meskipun hanya berbeda nyata dengan kultivar
Slamet. Demikian juga jumlah polongnya yang hanya berbeda nyata dengan kultivar
Kipas Putih. Turmudi, E.
JIPI
94
Tabel 4. Rata-rata bobot tongkol pada masing-masing kultivar kedelai
dalam variasi waktu tanam Kultivar
Waktu tanam Wilis Pangrango Kipas
Putih Slamet
3 minggu sebelum tanam jagung
33.68 bcd 57.61 abc 83.06 a 67.54 ab
0 minggu setelah tanam jagung
25.11 cd 17.23 d 29.07 bcd 35.66 bcd 3 minggu setelah
tanam jagung 33.65 bcd 26.54 bcd 20.55
cd 27.72 cd
Angka-angka sekolom yang diikuti huruf yang sama berbeda tidak nyata
pada taraf uji BNT 5%.
Dengan demikian kultivar Wilis
meru-pakan pesaing yang cukup kuat dan konsisten bagi tanaman jagung terutama
pada fase per-tumbuhan tongkol. Kultivar Panggrango yang memiliki sifat tahan
naungan diduga menjadi pesaing yang paling kuat bagi tanaman jagung
terutama saat terjadi interaksi fase
pertumbuhan generatifnya. Terbatasnya ketersediaan air aki-bat kemarau panjang
kemungkinan menye-babkan persaingan yang kuat pada pemanfaatan air dan hara.
Tanaman kedelai yang per-akarannya dalam kemungkinan dapat mem-peroleh air dan
hara yang cukup, sebaliknya tanaman jagung yang perakarnya dangkal
tersebar di dekat permukaan tanah
tidak dapat mencukupi kebutuhan air maupun hara. Gejala cekaman air terlihat
pada daun tanaman jagung yang senantiasa
menggulung pada tengah hari, sedangkan tanaman kedelai tidak memperli- hatkan
gejala ini. Pengaruh waktu tanam kedelai
sebagai faktor tunggal terhadap peubah biomassa dan total hasil biji kering
jagung dapat dilihat pada Tabel 5.
Jagung yang ditanam 3 minggu sebe- lum tanam kedelai menghasilkan
biomassa dan total hasil biji kering nyata lebih tinggi jika dibandingkan
dengan yang ditanam belakangan (3 mst kedelai)..
Tabel 5. Rata-rata biomassa dan
total hasil jagung pada berbagai waktu
tanam.
Waktu tanam Biomassa (g) Total hasil (ton ha
-1
)
3 minggu sebelum tanam kedelai
106.94 a 1.33 a
0 minggu setelah tanam kedelai
57.75 b 0.87 a 3 minggu setelah tanam
kedelai 57.58 b 0.50 b
Angka-angka sekolom yang diikuti
huruf yang sama berbeda tidak nyata pada taraf uji BNT 5%.
Hal ini menunjukkan bahwa tanaman
ja-gung yang ditanam lebih dulu dari kedelai men-jadi lebih mampu bersaing
dalam meman-faatkan faktor pertumbuhan. Tanaman jagung telah menguasai ruang
tumbuh sebelum ta-naman kedelai menjadi pesaing. Perakaran ja-gung telah
berkembang dan mampu menyerap sebagian besar unsur hara dari dalam tanah. Di
atas permukaan tanah kanopi daun jagung berkembang untuk mengabsorpsi cahaya
mata-hari tanpa bersaing dengan tanaman kedelai yang tumbuh belakangan dan
berada di ba-wahnya. Sebaliknya pada
tanaman jagung yang ditanam 3 minggu setelah tanam kedelai, pertumbuhannya
terhambat karena tertekan oleh
adanya persaingan yang cukup kuat
dari ta-naman kedelai yang tumbuh lebih dulu.
Produktivitas dan Efisiensi Pemanfaatan
Lahan
Produktivitas lahan yang dicapai
pada sistem tumpangsari jagung - kedelai pada perco-baan ini masih jauh lebih
rendah dari pada daya hasil masing-masing jenis tanaman yang diuji. Produksi jagung rata-rata yang dihasilkan
hanya mencapa 0.945 ton ha
-1
biji kering Tabel 8).. Rendahnya produksi tanaman jagung maupun
kedelai kemungkinan besar disebabkan oleh pe-ngaruh kondisi iklim yang tidak
memung-Sistem tumpangsari jagung dengan empat kultivar kedelai
JIPI
95
kinkan. Selama percobaan berlangsung tidak pernah
turun hujan, karena itu tanaman jagung selalu menderita cekaman air yang
meng-akibatkan tanaman tumbuh kerdil. Keadaan
di-
perburuk oleh keadaan cuaca
berasap selama beberapa bulan dengan
kelembaban udara sa-ngat rendah yang dapat menghambat proses fo-tosintesis pada
tanaman.
Tabel 8. Produktivitas lahan dan Nilai
Kesetaraan Lahan (NKL)
Perlakuan
Hasil
|
hasil
|
Nisbah
hasil
|
hasil
|
Nisbah
hasil
|
NKL
|
Waktu tanam
|
Kultivar
|
Biji
Kedelai (ton ha-1)
|
Kedelai
|
Biji
Jagung (ton ha-1)
|
Jagung
|
3 minggu sebelum tanam jagung
|
Wilis
Pangrango
Kipas Putih
selamet
|
0.87
0.69
0.55
0.63
|
1.78
1.41
1.12
1.29
|
0.64
0.49
0.44
0.44
|
0.73
0.56
0.55
0.55
|
2.51
1.97
1. 62
1.79
|
0 minggu (sesaat) dengan tanam jagung
|
Wilis
Pangrango
Kipas Putih
selamet
|
1.63
0.51
0.42
0.49
|
3.33
1.04
0.86
1.00
|
1.04
0.87
1.04
0.94
|
1.18
0.99
1.18
1.07
|
4.51
2.03
3.04
2.07
|
3 minggu sesudah
tanam
|
Wilis
Pangrango
Kipas Putih
selamet
|
0.07
0.08
0.11
0.10
|
0.14
0.16
0.22
0.20
|
1.08
1.37
1.43
1.44
|
1.23
1.56
1.63
1.64
|
1.37
1.72
1.85
1.84
|
Rata-rata
monokultur
|
0.49
|
|
0.88
|
|
|
Cekaman lingkungan iklim
terutaman di-derita oleh pertanaman monokultur, baik kedelai maupun jagung sehingga hasil kedua jenis tanaman
menjadi sangat rendah. Pada kondisi yang
demikian maka sistem tumpangsari jauh lebih menguntungkan dari pada pertanaman
mo-nokultur. Keuntungan dari pada pelaksanaan sistem tumpangsari dapat dilihat
dari meningkatnya efisiensi pemanfaatan lahan yang tercermin pada nilai NK >
1. Sistem tumpangsari jagung - kedelai
dari berbagai kultivar kedelai pada ber-bagai waktu tanam secara keseluruhan
lebih me-nguntungkan dari pada sistem monokulturnya (Tabel 8). Bahkan pada sistem tumpangsari jagung dengan
kedelai Wilis yang waktu pena-namannya dilakukan secara bersamaan dapat
meningkatkan efisiensi lahan hingga 4,5 kali lipat. Secara umum dari ke empat kultivar yang
diuji, Wilis merupakan kultivar yang paling
cocok ditanam secara tumpangsari
dengan ja-gung dengan nilai NKL rata-rata sebesar 2,81. Sedang waktu penanaman yang paling sesuai
adalah waktu tanam bersamaan dengan nilai NKL rata-rata sebesar 2,65.
KESIMPULAN
Kedelai kultivar Pangrango yang
memiliki sifat tahan naungan berpotensi untuk ditanaman secara tumpangsari
dengan jagung bahkan waktu penanamannya setelah jagung. Meskipun demikian hasil
kedelai tertinggi pada percobaan ini sebesar 3,33 ton ha
-1
biji kering
dihasilkan oleh kultivar Wilis yang ditanam secara tumpangsari dengan
jagung pada saat tanam bersamaan. Ada
kecenderungan hasil jagung tertinggi
berupa bobot biji kering dihasilkan pa-da sistem tumpangsari dengan
kedelai kultivar Slamet yang waktu penanamannya tiga minggu Turmudi, E.
JIPI
96
lebih awal dari waktu penanaman
kedelai. Se-cara umum kultivar kedelai
yang paling me-nguntungkan pada penanaman tumpangsari de-ngan jagung adalah
kultivar Wilis, sedangkan waktu penanamannya adalah penanaman pada saat yang
bersamaan. Kombinasi perlakuan ini
menghasilkan nilai NKL tertinggi sebesar 4,51. Perlu diteliti lebih lanjut
mengenai pemu-pukan pada sistem tumpangsari kedelai - jagung agar diperoleh
informasi keuntungan ekonomis berdasarkan efisiensi pemakaian sarana pro-duksi.
DAFTAR PUSTAKA
Beets, W.C. 1982.
Multiple Cropping and Tro-pical Farming System. Gower Publ.
Co., Chicago. 304 p Francis, C.A. 1989.
Biological Efficiencies in Multiple Cropping System. In Advances in Agronomy. Vo. 42.
Acad Press. New York. Francis,
C.A. 1986. Multiple Cropping System.
Macmilan Publising Company, New York. 363 p. Ginting, A.N. and H. Yusuf. 1983.
Aliran Per-mukaan dan Erosi Pada Lahan Beberapa
Jenis Tanaman dan Hutan di
Waspada, Garut. Lap. PUSLITHUT.
413 : 12 - 16. Gomez, A.A. and A.K. Gomez 1983. Multiple Cropping in the
Humid Tropics of Asia. IDRC., Canada 248 p. Jutono. 1982.
Fiksasi Nitrogen (N
2
) pada Leguminosa Dalam Pertanian
(Suatu Pe-doman Untuk Inokulasi). Lab
Mikrobio- logi Fakultas Pertanian UGM.
Yogya- karta. Koswara, J.
1983. Jagung (Diktat Matakuliah
Tanaman Setahun) Dept. Agronomi. Fa-kultas Pertanian Institut Pertanian
Bogor. Bogor. Oka, T.N. 1977.
Teknologi Pertanian Modern Dalam Perspektif Peningkatan Produksi dan
Kelestarian Pertanian Untuk Kesejah- teraan Masyarakat. Berita Ilmu Pengeta- huan dan Teknologi. 21 (3) : 10 - 19. Soemarwoto, O. 1985.
Pengelolaan Peman-faatan Lingkungan dalam Pengembangan Lahan Kering. Lab. Ekologi UNPAD. Bandung. Vandermeer, J. 1989. The Ecology on Inter-cropping. Cambridge University. Press.
New York.
Sistem tumpangsari jagung dengan empat kultivar kedelai
JIPI
95
kinkan. Selama percobaan berlangsung tidak pernah
turun hujan, karena itu tanaman jagung selalu menderita cekaman air yang
meng-akibatkan tanaman tumbuh kerdil. Keadaan
di-
perburuk oleh keadaan cuaca
berasap selama beberapa bulan dengan
kelembaban udara sa-ngat rendah yang dapat menghambat proses fo-tosintesis pada
tanaman.
Tabel 8. Produktivitas lahan dan Nilai
Kesetaraan Lahan (NKL)
Perlakuan
Hasil
|
hasil
|
Nisbah
hasil
|
hasil
|
Nisbah
hasil
|
NKL
|
Waktu tanam
|
Kultivar
|
Biji
Kedelai (ton ha-1)
|
Kedelai
|
Biji
Jagung (ton ha-1)
|
Jagung
|
3 minggu sebelum tanam jagung
|
Wilis
Pangrango
Kipas Putih
selamet
|
0.87
0.69
0.55
0.63
|
1.78
1.41
1.12
1.29
|
0.64
0.49
0.44
0.44
|
0.73
0.56
0.55
0.55
|
2.51
1.97
1. 62
1.79
|
0 minggu (sesaat) dengan tanam jagung
|
Wilis
Pangrango
Kipas Putih
selamet
|
1.63
0.51
0.42
0.49
|
3.33
1.04
0.86
1.00
|
1.04
0.87
1.04
0.94
|
1.18
0.99
1.18
1.07
|
4.51
2.03
3.04
2.07
|
3 minggu sesudah
tanam
|
Wilis
Pangrango
Kipas Putih
selamet
|
0.07
0.08
0.11
0.10
|
0.14
0.16
0.22
0.20
|
1.08
1.37
1.43
1.44
|
1.23
1.56
1.63
1.64
|
1.37
1.72
1.85
1.84
|
Rata-rata
monokultur
|
0.49
|
|
0.88
|
|
|
Cekaman lingkungan iklim
terutaman di-derita oleh pertanaman monokultur, baik kedelai maupun jagung sehingga hasil kedua jenis tanaman
menjadi sangat rendah. Pada kondisi yang
demikian maka sistem tumpangsari jauh lebih menguntungkan dari pada pertanaman
mo-nokultur. Keuntungan dari pada pelaksanaan sistem tumpangsari dapat dilihat
dari meningkatnya efisiensi pemanfaatan lahan yang tercermin pada nilai NK >
1. Sistem tumpangsari jagung - kedelai
dari berbagai kultivar kedelai pada ber-bagai waktu tanam secara keseluruhan
lebih me-nguntungkan dari pada sistem monokulturnya (Tabel 8). Bahkan pada sistem tumpangsari jagung dengan
kedelai Wilis yang waktu pena-namannya dilakukan secara bersamaan dapat
meningkatkan efisiensi lahan hingga 4,5 kali lipat. Secara umum dari ke empat kultivar yang
diuji, Wilis merupakan kultivar yang paling
cocok ditanam secara tumpangsari
dengan ja-gung dengan nilai NKL rata-rata sebesar 2,81. Sedang waktu penanaman yang paling sesuai
adalah waktu tanam bersamaan dengan nilai NKL rata-rata sebesar 2,65.
KESIMPULAN
Kedelai kultivar Pangrango yang
memiliki sifat tahan naungan berpotensi untuk ditanaman secara tumpangsari
dengan jagung bahkan waktu penanamannya setelah jagung. Meskipun demikian hasil
kedelai tertinggi pada percobaan ini sebesar 3,33 ton ha
-1
biji kering
dihasilkan oleh kultivar Wilis yang ditanam secara tumpangsari dengan
jagung pada saat tanam bersamaan. Ada
kecenderungan hasil jagung tertinggi
berupa bobot biji kering dihasilkan pa-da sistem tumpangsari dengan
kedelai kultivar Slamet yang waktu penanamannya tiga minggu Turmudi, E.
JIPI
96
lebih awal dari waktu penanaman
kedelai. Se-cara umum kultivar kedelai
yang paling me-nguntungkan pada penanaman tumpangsari de-ngan jagung adalah
kultivar Wilis, sedangkan waktu penanamannya adalah penanaman pada saat yang
bersamaan. Kombinasi perlakuan ini
menghasilkan nilai NKL tertinggi sebesar 4,51. Perlu diteliti lebih lanjut
mengenai pemu-pukan pada sistem tumpangsari kedelai - jagung agar diperoleh
informasi keuntungan ekonomis berdasarkan efisiensi pemakaian sarana pro-duksi.
DAFTAR PUSTAKA
Beets, W.C. 1982.
Multiple Cropping and Tro-pical Farming System. Gower Publ.
Co., Chicago. 304 p Francis, C.A. 1989.
Biological Efficiencies in Multiple Cropping System. In Advances in Agronomy. Vo. 42.
Acad Press. New York. Francis,
C.A. 1986. Multiple Cropping System.
Macmilan Publising Company, New York. 363 p. Ginting, A.N. and H. Yusuf. 1983.
Aliran Per-mukaan dan Erosi Pada Lahan Beberapa
Jenis Tanaman dan Hutan di
Waspada, Garut. Lap. PUSLITHUT.
413 : 12 - 16. Gomez, A.A. and A.K. Gomez 1983. Multiple Cropping in the
Humid Tropics of Asia. IDRC., Canada 248 p. Jutono. 1982.
Fiksasi Nitrogen (N
2
) pada Leguminosa Dalam Pertanian
(Suatu Pe-doman Untuk Inokulasi). Lab
Mikrobio- logi Fakultas Pertanian UGM.
Yogya- karta. Koswara, J. 1983. Jagung (Diktat Matakuliah Tanaman
Setahun) Dept. Agronomi. Fa-kultas Pertanian Institut Pertanian
Bogor. Bogor. Oka, T.N. 1977.
Teknologi Pertanian Modern Dalam Perspektif Peningkatan Produksi dan
Kelestarian Pertanian Untuk Kesejah- teraan Masyarakat. Berita Ilmu Pengeta- huan dan Teknologi. 21 (3) : 10 - 19. Soemarwoto, O. 1985.
Pengelolaan Peman-faatan Lingkungan dalam Pengembangan Lahan
Kering. Lab. Ekologi UNPAD. Bandung. Vandermeer, J. 1989. The Ecology on Inter-cropping. Cambridge University. Press.
New York.
Sistem tumpangsari jagung dengan
empat kultivar kedelai
JIPI
95
kinkan. Selama percobaan berlangsung tidak pernah
turun hujan, karena itu tanaman jagung selalu menderita cekaman air yang
meng-akibatkan tanaman tumbuh kerdil. Keadaan
di-
perburuk oleh keadaan cuaca
berasap selama beberapa bulan dengan
kelembaban udara sa-ngat rendah yang dapat menghambat proses fo-tosintesis pada
tanaman. Tabel 8. Produktivitas lahan
dan Nilai Kesetaraan Lahan (NKL)
Perlakuan Hasil
Nisbah hasil
Hasil
Nisbah hasil
Waktu tanam Kultivar
Biji Kedelai (ton ha
-1)Kedelai
Biji Jagung (ton ha
-1)Jagung NKL
Wilis 0.87 1.78 0.64 0.73 2.51
Pangrango 0.69 1.41 0.49 0.56
1.97
3 minggu sebelum tanam jagung
Kipas Putih 0.55 1.12 0.44 0.55 1.62
Slamet 0.63 1.29 0.44 0.55 1.79 Wilis 1.63 3.33 1.04 1.18 4.51
Pangrango 0.51 1.04 0.87 0.99
2.03
0 minggu (sesaat) dengan tanam
jagung
Kipas Putih 0.42 0.86 1.04 1.18
3.04 Slamet 0.49 1.00 0.94 1.07 2.07
Wilis 0.07 0.14 1.08 1.23 1.37
Pangrango 0.08 0.16 1.37 1.56
1.72
3 minggu sesudah tanam jagung
Kipas Putih 0.11 0.22 1.43 1.63 1.85
Slamet 0.10 0.20 1.44 1.64 1.84 Rata-rata monokultur 0.49 0.88
Cekaman lingkungan iklim
terutaman di-derita oleh pertanaman monokultur, baik kedelai maupun jagung sehingga hasil kedua jenis tanaman
menjadi sangat rendah. Pada kondisi yang
demikian maka sistem tumpangsari jauh lebih menguntungkan dari pada pertanaman
mo-nokultur. Keuntungan dari pada pelaksanaan sistem tumpangsari dapat dilihat
dari meningkatnya efisiensi pemanfaatan lahan yang tercermin pada nilai NK >
1. Sistem tumpangsari jagung - kedelai
dari berbagai kultivar kedelai pada ber-bagai waktu tanam secara keseluruhan
lebih me-nguntungkan dari pada sistem monokulturnya (Tabel 8). Bahkan pada sistem tumpangsari jagung dengan
kedelai Wilis yang waktu pena-namannya dilakukan secara bersamaan dapat
meningkatkan efisiensi lahan hingga 4,5 kali lipat. Secara umum dari ke empat kultivar yang
diuji, Wilis merupakan kultivar yang paling
cocok ditanam secara tumpangsari
dengan ja-gung dengan nilai NKL rata-rata sebesar 2,81. Sedang waktu penanaman yang paling sesuai
adalah waktu tanam bersamaan dengan nilai NKL rata-rata sebesar 2,65.
KESIMPULAN
Kedelai kultivar Pangrango yang
memiliki sifat tahan naungan berpotensi untuk ditanaman secara tumpangsari dengan
jagung bahkan waktu penanamannya setelah jagung. Meskipun demikian hasil
kedelai tertinggi pada percobaan ini sebesar 3,33 ton ha
-1 biji kering
dihasilkan oleh kultivar Wilis yang ditanam secara tumpangsari dengan
jagung pada saat tanam bersamaan. Ada
kecenderungan hasil jagung tertinggi
berupa bobot biji kering dihasilkan pa-da sistem tumpangsari dengan
kedelai kultivar Slamet yang waktu penanamannya tiga minggu Turmudi, E.
JIPI
96
lebih awal dari waktu penanaman
kedelai. Se-cara umum kultivar kedelai
yang paling me-nguntungkan pada penanaman tumpangsari de-ngan jagung adalah
kultivar Wilis, sedangkan waktu penanamannya adalah penanaman pada saat yang
bersamaan. Kombinasi perlakuan ini
menghasilkan nilai NKL tertinggi sebesar 4,51. Perlu diteliti lebih lanjut
mengenai pemu-pukan pada sistem tumpangsari kedelai - jagung agar diperoleh
informasi keuntungan ekonomis berdasarkan efisiensi pemakaian sarana pro-duksi.
DAFTAR PUSTAKA
Beets, W.C. 1982.
Multiple Cropping and Tro-pical Farming System. Gower Publ.
Co., Chicago. 304 p Francis, C.A. 1989.
Biological Efficiencies in Multiple Cropping System. In Advances in Agronomy. Vo. 42.
Acad Press. New York. Francis,
C.A. 1986. Multiple Cropping System.
Macmilan Publising Company, New York. 363 p. Ginting, A.N. and H. Yusuf. 1983.
Aliran Per-mukaan dan Erosi Pada Lahan Beberapa
Jenis Tanaman dan Hutan di
Waspada, Garut. Lap. PUSLITHUT.
413 : 12 - 16. Gomez, A.A. and A.K. Gomez 1983. Multiple Cropping in the
Humid Tropics of Asia. IDRC., Canada 248 p. Jutono. 1982.
Fiksasi Nitrogen (N
2
) pada Leguminosa Dalam Pertanian
(Suatu Pe-doman Untuk Inokulasi). Lab
Mikrobio- logi Fakultas Pertanian UGM.
Yogya- karta. Koswara, J. 1983. Jagung (Diktat Matakuliah Tanaman
Setahun) Dept. Agronomi. Fa-kultas Pertanian Institut Pertanian
Bogor. Bogor. Oka, T.N. 1977.
Teknologi Pertanian Modern Dalam Perspektif Peningkatan Produksi dan
Kelestarian Pertanian Untuk Kesejah- teraan Masyarakat. Berita Ilmu Pengeta- huan dan Teknologi. 21 (3) : 10 - 19. Soemarwoto, O. 1985.
Pengelolaan Peman-faatan Lingkungan dalam Pengembangan Lahan Kering. Lab. Ekologi UNPAD. Bandung. Vandermeer, J. 1989. The Ecology on Inter-cropping. Cambridge University. Press.
New York.
Artikel Terkait