Relevensi
Ideologi Pancasila [ Apakah “ideologi” semacam Pancasila
masih relevan dalam masa globalisasi dan demokratisasi yang nyaris tanpa batas
pada saat ini apakah pada sekarang ini pancasila masih kita jadikan sebagai
suatu tiang pondasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pertanyaan tentang
relevansi ideologi umumnya dalam dunia yang berubah cepat sebenarnya tidak
terlalu baru. Sejak akhir 1960, mulai muncul kalangan yang mulai mempertanyakan
relevansi ideologi baik dalam konteks negara-bangsa tertentu maupun dalam
tataran internasional. Pemikir seperti Daniel Bell pada akhir 1060-an telah
berbicara tentang “the end of ideology. Tentang perang dingin yang terus
meningkat antara Blok Barat dengan ideologi kapitalisme-liberalisme melawan
Blok Timur dengan ideologi sosialisme-komunisme, perang ideologi dalam kancah
politik, ekonomi dan lain-lain. Menunjukkan bahwa, Blok Barat lebih mendominasi
di sebagian besar negara-negara dunia.
Gelombang
demokrasi (democratic wave) [ telah lama gelombang demokrasi
muncul dipermukaan yang berlangsung sejak akhir 1980an, yang mengakibatkan
runtuhnya rejim-rejim sosialis-komunis di Uni Soviet dan Eropa Timur, kembali
membuat ideologi seolah-olah tidak relevan. Bahkan pemikir seperti Francis
Fukuyama memandang perkembangan seperti itu sebagai “the end of history, masa
“akhir sejarah di mana ideologi yang relevan adalah demokrasi Barat.
Gelombang demokratisasi yang terjadi berbarengan
dengan meningkatnya globalisasi seakan-akan membuat ideologi semakin tidak
relevan dalam dunia yang kian tanpa batas. Tetapi, seperti sudah banyak
diketahui, globalisasi mengandung banyak ironi dan kontradiksi. Pada satu
pihak, globalisasi mengakibatkan kebangkrutan banyak ideologi—baik universal
maupun lokal—tetapi pada pihak lain, nasionalisme lokal, bahkan dalam bentuknya
yang paling kasar, semacam ethno-nationalism dan bahkan tribalism
justru menunjukkan gejala peningkatan. Gejala terakhir ini sering disebut
sebagai penyebab Balkanisasi, yang terus mengancam integrasi negara-bangsa yang
majemuk dari sudut etnis, sosio-kultural, dan agama seperti Indonesia.
Gelombang demokratisasi yang melanda indonesia pada
tahun 1997, juga membuat Pancasila sebagai basis ideologis, common
platform dan identitas nasional bagi negara-bangsa Indonesia yang plural
seolah semakin kehilangan relevansinya. Terdapat setidaknya lima faktor yang
membuat Pancasila semakin sulit dan marjinal dalam semua perkembangan yang
terjadi, mengaa bisa demikian sobat.berikut factor yang bisa membuat idiologi
semakin sulit dan tidak dihargai lagi karna pencemaran oleh bangsa sendiri
berikut faktornya :
Pertama,
Pancasila terlanjur tercemar karena kebijakan rejim Soeharto yang menjadikan
Pancasila sebagai alat politik untuk mempertahankan status-quo kekuasaannya.
Rejim Soeharto juga mendominasi pemaknaan Pancasila yang selanjutnya
diindoktrinasikan secara paksa melalui Penataran P4.
Kedua,
liberalisasi politik dengan penghapusan ketentuan oleh Presiden BJ Habibie
tentang Pancasila sebagai satu-satunya asas setiap organisasi. Penghapusan ini
memberikan peluang bagi adopsi asas-asas ideologi lain, khususnya yang
berbasiskan agama. Pancasila jadinya cenderung tidak lagi menjadi common
platform dalam kehidupan politik.
Ketiga,
desentralisasi dan otonomisasi daerah yang sedikit banyak mendorong penguatan
sentimen kedaerahan, yang jika tidak diantisasipasi, bisa menumbuhkan sentimen
kedaerahan yang dapat tumpang tindih dengan nasionalisme. Dalam proses
ini, ada indikasi bahwa Pancasila kian kehilangan posisi sentralnya.
Keempat, disebabkan
euforia kebebasan yang hampir kebablasan; lenyapnya kesabaran sosial (social
temper) dalam menghadapi realitas kehidupan yang semakin sulit sehingga mudah
mengamuk dan melakukan berbagai tindakan kekerasan dan anarki; merosotnya
penghargaan dan kepatuhan terhadap hukum, etika, moral, dan kesantunan sosial;
semakin meluasnya penyebaran narkotika dan penyakit-penyakit sosial lainnya;
pecahnya konflik dan kekerasan yang bersumber atau sedikitnya bernuansa etnis
dan agama seperti terjadi di berbagai wilayah tertentu Kalimantan, Maluku dan
Sulawesi.
Kelima, fundamentalisme
kapitalis global terus menghantui perekonomian masyarakat Indonesia, pemerintah
telah dibuat bertekuk lutut atas sabda kapitalisme ini. Awal dari merasuknya
nilai-nilai kapitalisme global dan berujung pada globalisasi kemiskinan. Dari
globalisasi kemiskinan itu akhirnya banyak golongan yang kemudian membalik
fundamentalisme ini menjadi fundamentalis agama yang diusung bersama
nilai-nilai kekerasan, kembali mempersoalkan asas pancasila, syariat, hubungan
agama dan negara yang ideal, dan mungkin piagam Jakarta yang telah selesai
masalahnya pada abad IX dulu. Bukankah itu adalah bentuk-bentuk baru yang
banyak mengancam eksistensi pancasila ?